Abdul Aziz
Penasehat PW Persatuan Islam Sumut
SUARAAKADEMIS.COM||Medan_Hari itu 24 Juli 1981 bertepatan 22 Ramadhan 1401 H segenap keluarga Hamka berkumpul di Rumah Sakit Pertamina.
Mereka berganti ganti membaca Al-Quran dengan nada lirih, setelah terbaring sakit beberapa hari dan lalu koma, tim dokter sampai pada kesimpulan bahwa semua usaha medis sudah mereka kerahkan untuk merawat Buya Hamka.
Pada jumat pagi itu dengan disaksikan anak-anak dan keluarga dengan mata basah menyaksikan alat pendukung kesehatan yang melekat di badan Hamka satu persatu di lepas oleh dokter.
Layar monitor detak jantung yang berkedip-kedip kini memperlihatkan garis landai, lalu padam.
Hari itu pertiwi menangis, jutaan umat berduka atas berpulangnya tokoh kharismatik, Ulama besar, Sastrawan, Pahlawan Nasional Indonesia, dan Ketua Majelis Ulama Indonesia pertama.
Mulut yang telah menghasilkan jutaan ceramah kebaikan ini berhenti bergerak.
Dan jari-jari yang sudah menulis ratusan karya itu menjadi lemah, dan lalu kaku.
Dua senjata perjuangan Hamka mulut dan tangan telah beristirahat selamanya.
Tinta itu sudah mengering, suara itu sudah senyap.
Tapi jejak tulisan dan lisannya akan terus melintasi zaman dan ruang, jauh mengungguli umur biologisnya.
Sedangkan rohnya tabang mambubuang tinggi ke hadirat Allah, membawa segala kebaikan yang pernah ditebarkannya.
Di usia 73 tahun 5 bulan Hamka menutup hikayat panjangnya.
Kematian apalagi yang lebih indah daripada menyongsong ajal dengan hati penuh kerelaan.
Buya Hamka telah menulis 90-an buku, ratusan tulisan. Pemikiran dan karya-karyanya fenomenal dan terkenal sepanjang zaman antara lain Tenggelam nya Kapal Van Der Wijck, Dibawah Lindungan Ka’bah dan Tafsir Al-Azhar.
Hamka Dalam Kenangan
Sebuah Pribadi yang tak menyimpan dendam, dan tak haus pengakuan dari manusia.
Hamka kisahmu menjadi panutan tentang bagaimana seorang Muslim selayaknya berkepribadian.
Tentang pribadi yang tidak menyimpan dendam dari Hamka dapat dilihat dari peristiwa yang mengharu birukan perasaan kita.
Betapa tidak! Soekarno Presiden Republik Indonesia pertama sahabatnya saat sama berjuang merebut kemerdekaan memenjarakan beliau tanpa pernah diadili.
” Saat ajal akan menjemput Bung Karno Ada pesan penting, bila beliau wafat maka Buya Hamka yang yang diminta untuk jadi imam salat jenazahnya. ”
Berdetak jantung Hamka.
Dia tidak menyangka sama sekali, saudaranya ini, Bung Karno yang membiarkan dirinya di penjara tiba-tiba punya permintaan khusus.
Hamka berdiri dengan sendu di depan jenazah Bung Karno yang terbujur diam.
Di kepala Hamka berkejar-kejaran kenangan mereka bagai gambar hidup, senang duka yang muncul terakhir adalah damai dan maaf.
Dia tak mampu menyimpan dendam, yang ada cinta dan maaf, untuk saudaranya ini.
“Aku maafkan engkau, saudaraku” bisiknya nyaris tak terdengar.
Dia maafkan semuanya, dia ikhlaskan segalanya.
Hamka tunaikan wasiat sahabatnya itu menjadi imam sholat jenazah.
Abdul Malik gelar Datuak Indomo akrab dipanggil Hamka, sejak usia muda sudah dikenal sebagai seorang kelana.
Ayahnya bahkan maimbau anaknya itu”Si Bujang Jauah”
Sejak masa kecil sampai usia tuanya pun tetap berkelana dari ujung timur sampai ujung barat negeri ini, serta belahan dunia lainnya.
Hamka yang dilahirkan dari desa Sungai Batang di tapian Danau Maninjau, Kabupaten Agam itu telah meninggalkan pusaka dan pituah bagi kita generasi ke generasi, sekarang bagaimana kita??
Sebuah pertanyaan yang menggelayut yang perlu jadi renungan.