SUARAAKADEMIS.COM||MEDAN_ANCAMAN perlambatan pertumbuhan ekonomi mencuat belakangan ini. Setelah ekonomi Jepang, Jerman dan Inggris juga masuk ke dalam jurang resesi. Sementara Indonesia, masih mampu tumbuh 5,05% di 2023 sekaligus memosisikan diri sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia.
Kokohnya pertumbuhan ekonomi domestik dibandingkan dengan negara-negara lainnya tidak terlepas dari arah kebijakan pembangunan ekonomi yang lebih domestic oriented. Kebijakan pertumbuhan yang berorientasi pada konsumsi domestik, dan tidak begitu mengandalkan perdagangan dengan negara lain. Walaupun dinilai sebagai strategi pertumbuhan ekonomi yang defensif, nyatanya ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh di tengah tekanan ekonomi yang terjadi di negara lain yang berujung pada resesi.
Namun, tidak perlu bereuforia dengan capaian tersebut, serta tetap berupaya untuk menjaga agar pertumbuhan ekonomi saat ini bisa dipertahankan. Targetnya bisa tumbuh lebih baik di tahun ini dan di masa yang akan datang.
Mengingat pertumbuhan ekonomi Tanah Air saat ini dikelola dengan cara yang tradisional, sehingga salah satu cara untuk mempertahankan konsumsi domestik adalah harus tetap bertumpu pada bagaimana upaya untuk mengembangkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Salah satu masalah mendasar yang membuat pelaku UMKM sulit untuk berkembang adalah keterbatasan akan akses modal. Secara garis besar, terkait akses modal ini, ada dua hal yang perlu disoroti, yakni dari sisi eksternal dan internal pelaku UMKM.
Dari sisi eksternal adalah kemampuan atau kesiapan perbankan dalam menyalurkan pembiayaan kepada pelaku UMKM, yang pada umumnya juga harus patuh pada kebijakan manajemen risiko masing-masing bank.Sementara, dari sisi internal adalah kesiapan pelaku UMKM itu sendiri saat mengajukan permohonan pembiayaan ke bank.
Dalam hal ini, pelaku UMKM akan mengambil risiko untuk kepentingan investasi, dengan tujuan mendapatkan keuntungan. Tulisan ini mengulas bagaimana menyelaraskan risiko yang bisa diterima perbankan dengan kebutuhan pembiayaan pelaku UMKM.
Dengan begitu, diharapkan bank dan pelaku UMKM bisa dapat saling bersinergi, yang nantinya akan bermuara pada terciptanya inklusi keuangan di masyarakat serta menjadi fondasi bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas.Pada dasarnya industri UMKM memiliki operasional yang jauh lebih sederhana dibandingkan dengan industri besar.
Sehingga, analisis kredit UMKM cenderung lebih spesifik terkait dengan karakter usaha yang dijalankan. Perbankan menjadi faktor eksternal bagi pelaku UMKM, yang dalam konteks ini ekosistem perbankan harus beradaptasi dengan kebutuhan pelaku UMKM di setiap masanya.
Bukan bermaksud untuk mengurangi tingkat kehati-hatian dalam penyaluran kredit perbankan ke pelaku UMKM. Namun, pemerintah, perbankan, juga kita semua harus sepemahaman bahwa kita membutuhkan upaya ekstra untuk menjaga momen pertumbuhan ekonomi ini. Kita harus beradaptasi dengan ekosistem saat ini, di mana kita perlu menjaga konsumsi domestik di tengah memburuknya situasi ekonomi global, ditambah dengan upaya untuk mencari sumber pertumbuhan ekonomi baru.
Sudah tepat jika prioritas kebijakan untuk menjaga momen pertumbuhan adalah dengan memberikan curahan yang lebih besar kepada pelaku UMKM. Ekosistem di dunia perbankan harus didorong untuk beradaptasi dengan sejumlah aturan atau regulasi yang memberikan karpet merah bagi pelaku UMKM dengan tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian. Untuk mewujudkan itu semua,
kita perlu fokus pada pembiayaan kepada industri UMKM yang banyak menyerap tenaga kerja dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI) per Oktober 2023, total kredit perbankan ke UMKM sebesar Rp1.434,3 triliun. Porsi penyaluran kredit UMKM terbesar ke sektor perdagangan besar dan eceran, serta reparasi mobil dan sepeda motor sebesar Rp677,85 triliun. Jumlah itu setara dengan 47,3% dari total penyaluran kredit UMKM.
Posisi selanjutnya ditempati oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang menerima kredit UMKM sebesar Rp253,48 triliun atau 17,7%. Berikutnya sektor industri pengolahan sebesar Rp142,62 triliun atau 9,9%. aha nasabah berada di daerah yang sama. Domisili yang jauh dari lokasi usaha memiliki tingkat kerentanan yang cukup tinggi.
Menilai lokasi usaha debitur juga bisa dijadikan acuan untuk menentukan bagaimana kemungkinan pemasaran produk pelaku UMKM di suatu kawasan tertentu. Lokasi usaha debitur dibutuhkan untuk memetakan potensi daya beli masyarakat dalam menyerap produk yang dijual oleh pelaku UMKM.
Dua, jumlah karyawan. Semakin banyak karyawan yang bekerja di suatu UMKM bisa disimpulkan bahwa usaha debitur sudah mengalami kemajuan.
Tiga, ekosistem. Pengembangan UMKM berbasis ekosistem memiliki tingkat risiko lebih rendah, misalnya ekosistem UMKM RT/RW, ekosistem kerajinan, ekosistem kos-kosan, dan lain sebagainya.
Empat, keluarga kecil double penghasilan. Misalnya, suami bekerja sebagai ojek online (ojol), sementara istri sebagai penjahit; atau istri sebagai guru PAUD dan suami sebagai penjahit; istri sebagai guru SD dan suami sebagai pedagang, dan lain sebagainya. Keluarga kecil double penghasilan memiliki tingkat risiko yang lebih rendah.
Lima, status usaha debitur. Ada banyak status usaha debitur jika ditelisik dari kegiatan bisnis yang dilakukan. Misal, bisnis debitur sebagai agen resmi penyalur LPG 3 kg akan lebih mudah diukur cash flow hingga margin atau potensi keuntungan yang didapatkan. Atau, contoh status usaha lainnya, yang nantinya akan menggambarkan risiko dari masing-masing usaha debitur. Enam, digitalisasi. Sektor usaha (dalam hal ini UMKM) yang tumbuh dan berkembang tentunya tidak terlepas dari seberapa besar pemanfaatan sumber daya digital yang dilakukan oleh pelaku UMKM.
Memang tidak semua UMKM membutuhkan digitalisasi. Akan tetapi, beberapa sektor usaha justru sangat bergantung dengan digitalisasi. UMKM yang telah melakukan digitalisasi memiliki tingkat ketahanan yang lebih baik ketimbang UMKM yang belum menerapkan digitalisasi.
Tujuh, jumlah tanggungan. Jumlah tanggungan yang semakin besar menunjukkan bahwa beban yang akan ditanggung debitur juga akan semakin besar.
Dengan penilaian atau melihat kriteria tersebut, maka bisa dilihat bagaimana rating sebuah UMKM. Selain juga harus ditambahkan penilaian lain, seperti track record pinjaman sebelumnya (kalau ada), serta informasi atau karakter dari calon debitur.
Tentu saja RAC bisa berkembang sesuai dengan lokasi dan situasi di masing-masing wilayah kerja. RAC bersifat sangat dinamis, menyesuaikan dengan wilayah, kondisi, dan situasi setempat.
Akhir kata, “Mencintai UMKM Itu Berkah dan Mulia”.
Penulis adalah Dirut Bank Sumut dan Pemerhati UMKM