Suaraakademis.com.|Riau — Bagi perusak kawasan hutan lindung atau pengalihan fungsi untuk memperkaya dirinya dan kelompoknya dengan mejadikan hutan tersebut dengan perkebunan kelapa sawit secara tidak sah, dan kawasan tersebut telah diatur oleh UU. Guna untuk menjaga ekosistem berupa kesuburan tanah, cadangan air dan fungsi-fungsi ekologis lainnya dan untuk menjaga dan melindungi keanekaragaman hayati (flora dan fauna) di dalamnya.
Jelas sudah merupakan pelanggaran hukum tindak pidana, pidananya telah diatur pada pasal 94 ayat(1) huruf a UU No 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dan
menyatakan pidana 8 (delapan) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 10.000.000, 00 (sepuluh miliar rupiah dan paling banyak RP 100.000 000,00 (seratus miliar rupiah.
Dan para pemilik kebun sawait dikawasan hutan lindung tersebut juga bisa lagi dijerat dengan UU No. 8 tahun 2010 tentang Tindakan Pidana Pencuci Uang (TPPU).
Karena penguasaan hutan dengan tidak sah termasuk delik tindak pidana pencucian uang dibidang perhutanan.
Kita melihat dipasal 19 H menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan,
menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, dan/atau menukarkan uang atau surat berharga
lainnya serta harta kekayaan lainnya yang diketahuinya atau
patut diduga merupakan hasil pembalakan liar dan/atau hasil
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.
Dan/atau pasal 19 I menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil pembalakan liar
dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Sehingga jelas pidananya seperti
yang dinyatakan dipasal 4, UU No 8 tahun 2010 yang berbunyi
“setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal
usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau
kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana, sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Namun kedua UU tersebut jelas-jelas dikangkangi para mafia tanah, atau oleh pemilik kebun sawit yang berada dikawasan hutan lindung dimaksud, karena penegak hukum yang diberikan wewenang oleh peraturan perundang undangan, tidak berfungsi sesuai dengan tupoksi mereka.
Dan juga karena para penegak hukum yang digaji dari hasil pajak rakyat patut diduga king kali kong pada mafia mafia tanah tersebut, karena mereka tidak serius melakukan pengawasan dan pencegahan.
Dan selanjutnya juga pantas diduga sengaja mereka melakukan pembiaran atau tutup mata agar mereka mempunyai alasan untuk mengajukan anggaran, modus untuk pengawasan dan pemeliharaan kawasan hutan lindung.
Seperti diketahui didaerah sungai besar dan didaerah lainnya khususnya di Propinsi Riau malah tambah melenggang
para mafia tanah alias aman aman saja karena penegakkan hukum mereka hanya berani pada masyarakat kelas bawah karena tidak mereka memiliki keuntungan.
Tetapi kepada pengusaha yang kelas kakap berkedok masyarakat bisa bebas dan dibiarkan begitu saja.
Malah para mafia tanah selain menjadikan kebun sawit hutan kawasan tersebut, beraninya mereka melakukan pemungutan liar kepada masyarakat, dengan menjual ayat UUCK pasal 110A/110B karena disitu memberikan ruang untuk pemutihan lahan dikawasan yang sudah keterlajuran bagi yang miliki lahan kebun kelapa sawit yang berada dalam kawasan hutan lindung.
Seperti yang terjadi dibeberapa desa di Kecamatan Pucuk Rantau Kabupaten Kuantan Singingi Propinsi Riau “diantaranya didesa Sungai Besar, dengan membetuk panitia kepengurusan pembebasan kawasan hutan lindung, sehingga panitia pengurus lahan tersebut dilakukan pengutipan/pungutan biaya untuk pembebasan lahan sebesar Rp.200.000, 00/perhektar. Menurut informasi luas lahan yang merekam ajukan pembebasan seluas 1500 hektar. Sehingga bila dihitung hitung mereka mendapatkan hasil dari pemungutan tersebut sebesar Rp.300.000.000 00.
Saat Alim salah seorang pemilik lahan dan sekaligus sebagai panitia pengurus pembebasan lahan tersebut saat dikonfirmasi oleh salah seorang wartawan Athia 17/11/2022, Awalnya Alim bertanya sebelum menjelaskan pengutipan tersebut kepada wartawan Athia dengan menanyakan “siapa yang memberitakan itu saya merasa ada yang tidak sesuai dalam keterangan kepengurusan dan meyakinkan pungutan yang dilakukan tersebut tidak masuk pungutan liar.
Karena menurut Alim pungutan yang mereka lakukan kepada masyarakat tidak termasuk pungutan liar karena namanya berjuang tentu memerlukan biaya untuk biaya berkas.
Dan karena banyak yang mengajukan kepada pemerintah untuk minta supaya lahan kawasan ini diputihkan sesuai UUCK 110A/110B, tentunya memerlukan biaya, mulai biaya dari pengukuran dan lain sebagainya.ucap Alim.
Bahkan kami hampir kewalahan karena sebenarnya biaya untuk merintas saja belum ada, maka itu adanya pungutan ke masyarakat yang RP.200.000, tersebut setiap hektar jelas Alim.
Selanjutnya Alim menjelaskan terkait pengajuan tersebut, petunjuk dari pihak BPN karena yang duluan mengajukan desa Setiang, kami ikut dan semua data pengajuan daerah ini Dusun (4) malapari/pasar tikam gajah desa sungai besar, Alhamdulillah semua sudah sampai ke kementerian dan berkasnya lengkap ada dirumah kita”, ucap Alim mengasihi dan sambil direkam oleh Athia selaku wartawan sebagai bukti dokumentasi 17/11/2022.
Ditempat yang berbeda dikediaman Alim dan dihadapan oleh beberapa wartawan, Alim dan menantunya Dedi selaku kadus aktif menjelaskan;
” Yang mengajukan mencapai 1000 pemohon dengan luasan yang berbeda kebun sawitnya dan hampir rata-rata orang pendatang semua, termasuk kelompok Alim yang disebut-sebut 13 bersaudara yang diketahui sebelumnya memiliki kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan di Dusun 4/pasar tikam gajah lebih kurang 400 hektar.
“Kemudian, karena mereka prosesnya tidak paham untuk melengkapi cara pengajuan pemutihan kawasan dimaksud, tentunya kami bertanya, bahkan Bupati Kuansing Suhardiman Amby bersama utusan dari pekan baru telah turun langsung ke tempat rumah kadus Dedi menjelaskan tentang UUCK itu karena kami pun tidak oleh karena itu kami tidak asal mengajukan lebih dahulu Kami minta petunjuk kepada mereka”, jelas ungkap Dedi dan Alim dihadapan oleh beberapa wartawan secara tim pada 08/11/2023 sambil direkam oleh Athia selaku wartawan bagai dokumentasi.Red.
Dua hari kemudian setelah itu pada 10/11/2023″ Dedi, Alim dan faisal datang kediaman Athia selaku wartawan dan Faisal yang mengaku dirinya lebih tahu untuk tupoksi wartawan karena dirinya sudah lama wartawan bahkan pimpinan media, Athia pun belum pernah melihat pemberitaannya walaupun sudah sekian tahun berada di Dusun 4 tersebut dan diduga beliau termasuk dalang terkait hal urusan kawasan hutan lindung di wilayah tersebut.
Mereka secara bersama-sama datangi Athia terkait pemberitaan yang sudah diterbitkan oleh media Metro24co.id tentang pungutan (Pungli) RP.200.000/HA tersebut, mereka tidak terima akan mencari siapa dan dimana tinggalnya dan akan dilaporkan dan bila perlu kami bawa berapa mobil warga atau masyarakat dari sini biar tahu dia yang memberitakan itu, itu sebelumnya sudah kami selesaikan klarifikasinya kepada yang memberitakan awal media Riauincom dan mengapa diberitakan lagi oleh media lain tanpa konfirmasi kepada kami”, ungkap mereka sambil terekam bagai bukti dokumentasi.
Athia selaku wartawan sempat menjelaskan untuk meluruskan;
Bukankah karena itu sempat terbit pada media Riauincom belum terhapus dan sejak itu bukankah Pak Alim sendiri menjelaskan kepada saya dan pernyataan itu sering kusampaikan melalui WhatsApp grup, bisa jadi dari kejelasan tersebut mereka kutip atau dari berita sebelumnya karena belum terhapus.
Bahkan kejelasan Pak Alim itu pada 17/11/2022 masih kusimpan rekaman suaranyalah, dan soal mau melaporkan wartawan atau media itu terserah bapak-bapak jika merasa benar dan susuai prosedur tanpa pelanggaran hukum yang berlaku, jelas Athia mengingatkan.
Menurut Athia selaku wartawan online, berani karena benar dan takut jika salah. Dan kenapa ada pengutan kepada masyarakat sudah jelas dalam UUCK diberikan ruang kepada masyarakat untuk memberikan izin melakukan pembebasan yang sudah keterlajuran didaerah kawasan, dan Negara telah membentuk saat gas mendata dan BPN, itu sudah tugas mereka lakukan pengukuran bila sudah memenuhi syarat untuk dibebaskan lahan tersebut. Mereka sudah digaji dan mereka memiliki anggaran, seharusnya mereka itu membantu masyarakat untuk sosialisasi apa yang menjadi syarat yang sesuai dengan peraturan perundang undangan yang ditelah dituangkan dalam UUCK, sehingga para oknum yang bermodus jual ayat ayat UUCK tidak mengambil kesempatan dalam kesempitan, untuk menguntungkan dirinya.
Sumber berita: Athia.
(UG)