Edy Rahmayadi Ayah Untuk Negeri, Tunai Sudah Baktimu
Oleh: Abdul Aziz
Pengurus Persatuan Wredatama Republik Indonesia Sumatera Utara.
Medan -Suaraakademis.com||Tayangan berita di televisi, menarik perhatian Edy Rahmayadi yang akrab disapa Adi sedang beristirahat di kantornya sambil menyeruput jus jeruk kesukaanya.
Presiden RI, bersama pejabat sipil dan militer wilayah Batam baru saja meresmikan pemakaian Pulau Nipa bagi kepentingan keamanan laut, ekonomi, dan zona maritim.
Terbayang olehnya memori tentang Pulau Nipa ini ketika ia bertugas sebagai Komandan Kodim 0316 Batam.
Pagi itu Oktober 2002 angin bertiup lembut di perairan Batam seakan menyapa akrab siapa saja yang hendak melaut pagi itu.
Langit terlihat cerah indah menawan. Berbalut awan Cirrus putih yang tipis, hingga membuat warna birunya sangat jelas terlihat.
Selain cerah, langit pun terlihat sangat luas. Luasnya tak sebanding dengan bumi yang kita huni.
Luasnya seluas rahmat Tuhan seolah memberi isyarat sebanyak apa pun masalah manusia, masih lebih luas langit yang menjanjikan ruang bagi sejuta kedamaian dan keteduhan.
Adi, beserta anggota Kodim 0316 tak ingin melewatkan suasana indahnya cuaca di pagi itu, untuk berangkat memancing menjernihkan pikiran dan menguatkan persaudaraan.
Malam tadi adalah malam yang dekat dengan bulan purnama, pertanda waktu dimana ikan-ikan menjadi sangat ingin melahap makanannya, dan matahari baru beranjak naik mestinya sangat menggoda bagi kawanan ikan.
Hati tertanya-tanya, apakah ini pertanda rezeki dari Tuhan yang di langit masih ditahan di atas sana, ataukah alam tak lagi bersahabat dengan apa yang dikandungnya? Misteri ini tidak mudah menjawabnya.
Tak jauh dari posisi memancing terlihat ada segundukan tanah yang luasnya kurang lebih satu meter dan panjangnya sekitar sembilan puluh meter, saat pasang naik akan tenggelam total.
Hampir satu jam memancing, tiba-tiba dari kejauhan terlihat perahu cepat, kiranya Speedboat awalnya terlihat kecil semakin mendekat ternyata adalah, Singapore Police Marine Guard, Patroli Polisi Air Singapura!
Adi dan kawan-kawan tidak ingin terlibat masalah. Maka, mesin kapal yang ditumpangi mulai dinyalakan. Haluan kapal diarahkan menjauh dari kapal patroli.
“Tunggu” tahan Adi.
Ia berpikir akan menghadapi ini dengan berani. Kan, mereka belum terbukti berbuat salah. Ditambah lagi kemampuan laju kapal tak sebanding dengan milik mereka.
Petugas patroli air Singapore itu menghampiri. Mereka menjelaskan bahwa Adi memasuki kawasan perairan yang berada dalam pengawasan polisi laut Singapura, untuk itu diminta menjauh.
Ada kekesalan di hati Adi dan kawan-kawan. Tiba-tiba muncul ide untuk mengukur titik koordinat, mana tahu klaim mereka tidak benar. Adi tak kalah mop, tak kalah gertak ( maklum gertak dan ogap anak Medan, pen.).
“I’m a soldier, I’m not affraid, ” kata Adi menghadap rekan-rekannya dengan suara dikeraskan agar didengar polisi-polisi itu.
“Coba kita lihat GPS. Mana yang benar, “lanjut Adi.
Benar berdasarkan GPS ini masih wilayah perairan Indonesia.
Setelah adu argumentasi Adi bertahan, hingga Polisi Laut Singapore pun pergi.
Besok kita usulkan membuat pos di sana. ” Adi pantang menyerah, lebih patriotik saat ketimbang operasi yang pernah dipimpinnya di Aceh.
Saya semakin ditantang semakin
menjadi, benaknya berkata.
Hati pun bertanya-tanya, mengapa Singapura begitu ngotot untuk mempertahankan? berdasarkan informasi disekitar pulau yang tinggal hanya gundukan pasir diketahui bernama Pulau Nipa– telah terjadi penambangan pasir untuk reklamasi perairan Singapura.
Pulau Nipa awalnya pulau kecil. Karena abrasi dan penambangan pasir di sekitar itu, sedikit demi sedikit daratannya mengecil. Daratannya tersisa beberapa meter persegi saja.
“Kita akan pancangkan tiang bendera dan kita kibarkan merah putih di atas gundukan pasir itu, berikut pos jaga di atas”.
Adi menjelaskan idenya pada anak buahnya untuk mempertahankan pulau yang diperebutkan itu.
Setelah Kejadian ini sampai ke telinga pemangku kepentingan di Batam dan Jakarta, mulai ada upaya serius negara untuk menangani masalah pulau tersebut.
Sejak peristiwa keributan itu, acapkali manuver Patroli Udara Singapura melayang-layang di atas wilayah pulau terluar Indonesia itu.
Telah terjadi di Tanah Melayu yang bertuah ini kegiatan penambangan pasir berjalan cukup lama.
Gundukan tanah seperti membawa pesan bisu tentang derita pilu nasib yang tak kuasa lagi dipertahankan, bermula dari kejadian di hari itu, gundukan itu kelak akan berubah menjadi pembicaraan dan buah bibir kebanggaan di sejagad nusantara!
Terjadi perundingan antara Pemerintah Indonesia dan Singapura berakhir dengan kesepakatan pula Nipa adalah bagian dari teritori NKRI.
Kita menang! ujar Adi dan anak buahnya.
Kemenangan ini bagi Adi lebih sejati daripada operasi di Aceh.
Masalah pulau Nipa adalah masalah kedaulatan NKRI di hadapan bangsa lain.
Sementara persoalan Aceh yang dilaluinya ini adalah masalah anak bangsa, bahkan saudara sendiri.
Apalagi darah Aceh masih mengalir dalam dirinya, melalui ibu dari ayahnya.
Berita tentang Pulau Nipa di televisi telah berakhir, Adi dan kawan memang tidak hadir saat peresmian karena kapasitas pulau yang kecil.
Kepuasan batin dalam pencapaian sesuatu sesungguhnya bukan pada saat menikmati hasil akhir, tapi juga saat memperjuangkannya.
Kalau bukan cerita memancing, kalau bukan bertengkar dengan Singapore Police Marine Guard, bantuan GPS kecil tapi berarti, dan kalau bukan jatuh bangun menancapkan tiang bendera merah putih di seonggok tanah yang hampir “sekarat” bisa jadi Pulau Nipa saat ini seonggok bongkahan tanah pasir tersedot habis tanpa tahu kemana rimbanya. Edy Rahmayadi Sang Jenderal: Ayah untuk negeri (Ihsan Satrya Azhar dkk)
Suara Sang Kapten dan Foto Ibunda
Suatu hari di Rumah Dinas Gubernur Sumatera Utara di bulan April 2020 pukul 09.57
Bergegas seluruh staf Adi memutar badan. Berjalan dengan langkah cepat, mereka meninggalkan ruangan. Sesegera mungkin melaksanakan perintah.
Suara derap sepatu menjauh lalu menghilang di telan jarak.
Sendirian kini dia di ruangan dingin itu. Ia mengusap wajah dengan kadua tangan. Wajahnya kusut
“Alaaah, ” gumam putra pertama Ibu Ngadisah yang lahir di Sabang Maret 1961 ini gusar.
Pimpinan tertinggi Provinsi Sumatera Utara ini menyadari, bahwa keberlangsungan hidup empat belas juta rakyat Sumatera Utara berada di tangannya.
“Ketenangan, Di. Ketenangan, baik dalam hati juga pikiranmu. ”
Suara Almarhum Kapten Rachman, ayahnya yang telah lama pergi seperti bersipongan di telinganya. Ia ber-istighfar dalam hitungan panjang.
Degub kencang amarah kala mendengar ketidakberesan tadi semakin melemah.
Ayah tiga anak menghela nafas panjang saat melihat foto ibunda memakai kerudung putih di meja kerjanya.
Ia menggamit ponsel dan memutar nomor telepon mamanya.
Tanggal 5 September 2023 tunai sudah tugas mu sebagai Gubernur Sumatera Utara.
sebelumnya Kau jalani pengabdian sebagai Parajurit TNI.
Saya teringat pidato Gubsu saat kami dilantik sebagai Pengurus Persatuan Wredatama Republik Indonesia (PWRI) Sumatera Utara, diketuai Hasban Ritonga, SH pada 2 September 2023, Usia Boleh Tua Jati Diri Tetap Kokoh.
Di akhir pengabdian, kuberikan kado terindah buat mu sahabatku Edy Rahmayadi yakni sejumput doa tulus, semoga kau bahagia dalam pengabdian dan dedikasimu yang panjang. Warga Sumatera Utara masih menunggu kiprahmu kawan.