Utang Republik Pada Islam: Perjuangan Para Tokoh Islam dalam Menjaga NKRI Oleh: Abdul Aziz, ST Anggota Majelis Syuro DDII Sumatera Utara
Medan-Suaraakademis.com||Baru saja usai bangsa ini memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke – 78, banyak pelajaran yang di dapat tentunya,
bagaimana seharusnya kita memandang masa lalu, atau hanya sekedar suatu bentuk nostalgia mengenang apa yang pernah terjadi.
Apakah hanya sekedar membaca kembali garis besar gerak waktu, dengan mengenang peristiwa yang dianggap penting, dan memberi catatan melalui peringatan.
Seperti kita memperingati hari-hari penting nan menyejarah?
Hal yang menjadi tantangan ketika “masa lalu” adalah perjalanan suatu bangsa.
Suatu proses di dalamnya memuat tonggak – tonggak penting yang menentukan keadaan bangsa hari ini.
Proses itulah yang dapat dirasakan ketika membaca bunga rampai karya Lukman Hakiem Utang Republik Pada Islam (Pustaka Al-Kautsar)
Hari itu 18 November 1995 aula Masjid Al-Furqan Kramat Raya 45 markas DDII penuh sesak, melaksanakan tasyakuran atas penghargaan Pemerintah RI kepada tokoh-tokoh Masyumi partai politik Islam yang didirikan pada 7 November 1945 dan dipaksakan membubarkan diri pada bulan September 1960.
Makna Penghargaan Pada tahun 1995, sejumlah tokoh puncak Masyumi memperoleh Bintang Mahaputra dari Pemerintah.
Mereka ialah K. H. Noer Ali, K. H Sholeh Iskandar, Prawoto Mangkusasmito, M. Kasman Singodimedjo, Dr. Abu Hanifah, Mr. Jusuf Wibisono, dan Ki Bagus Hadikusumo.
Sampai tahun 1995 ada sembilan belas tokoh Masyumi yang mendapat bintang penghargaan.
Menariknya, dari mantan Ketua Umum Masyumi, dua orang telah mendapatkan penghargaan dari pemerintah Orde Baru pimpinan Jenderal Soeharto.Keduanya ialah dr. Soekiman Wirjosandjojo, dan Prawoto Mangkusasmito.
Masyumi memang merupakan fenomena politik umat Islam Indonesia yang khas.
Partai ini didirikan oleh Kongres Umat Islam Indonesia di Yokyakarta, satu-satunya wadah perjuangan politik umat Islam. Lebih dari satu dasawarsa, keanggotannya terdiri dari anggota perseorangan dan anggota istimewa seperti Muhamadiyyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam (PUI), Jam’iyatul Washliyah, Mathlaul Anwar, dan Nahdlatul Wathan.
Sikap Islam Terhadap Kebebasan Beragama Hubungan antarumat beragama di Indonesia ternyata sudah menjadi isu dan kepedulian bersama sejak tahun-tahun pertama kemerdekaan.
Tatkala dibicarakan Pasal 18 RUU Dasar Sementara 1950 tentang jaminan kemerdekaan beragama di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ternyata saudara-saudara sebangsa yang beragama Kristen merasa belum terjamin dengan pasal tersebut
Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:”Setiap orang berhak atas kebebasan agama, keinsafan bathin, dan pikiran.”
Perdana Menteri NKRI (1950-1951), Mohammad Natsir dalam salah satu tulisannya di Capita Selecta 2 mengingatkan, jika kita tidak sama-sama awas, ketakutan itu mungkin akan menjadi salah satu pendorong dari pikiran dan langkah-langkah selanjutnya.
Menurut Natsir, keraguan di kalangan anggota parlemen yang beragama Nasrani itu terutama mengenai sikap umat Islam terhadap kebebasan beragama.
Alhamdulillah keraguan tersebut dapat dihilangkan sesudah diadakan rapat secara khusus Ketua Fraksi Masyumi membentangkan pendirian Masyumi dan umat Islam, mengenai Pasal 18 dalam kaitannya dengan kemerdekaan beragama.
Pada pertengahan 1990-an sejarawan terkemuka Taufik Abdullah seperti dikutip Majalah Media Dakwah No. 241, Muharram 1415/Juli 1994-meresensi buku Muslims Through Discourse.
Buku ini tidak berbicara mengenai umat Islam di Saudi Arabia atau Muslim Pakistan.
Buku ini membahas mengenai masyarakat Muslim di Gayo, Aceh Tengah.
Salah satu kesimpulan akhir buku itu adalah masyarakat Gayo memperoleh kesadaran sebagai bagian dari bangsa tidak melalui proses peralihan yang oleh Clifford Geertz disebut “dari masyarakat lama ( old society) ke negara baru (new state), ” melainkan melalui wacana Islam.
Melalui diskursus Islam, masyarakat Gayo merasa menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
Begitu juga daerah lain seperti Sumatera Barat dan Tapanuli Selatan Taufik meyakini prosesnya sama dengan di Gayo. Taufik menduga di Kalimantan Selatan juga terjadi proses seperti itu.
Melihat pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Taufik yakin proses pertumbuhan rasa kebangsaan Indonesia di Jawa tidak berbeda dengan proses yang terjadi di daerah-daerah lain, yakni melalui wacana Islam.
Islam-islam lokal itulah yang sesungguhnya menjadi komunitas Islam yang betul-betul riil walaupun memiliki ciri-ciri tersendiri, tetapi dipersatukan oleh doktrin Islam yang bersifat abadi (eternal), dan menjagadraya (universal).
Moh. Natsir Tentang Dr. Johannes Leimena Diplomat, dan Pemimpin Kristen.
Di kalangan rekan-rekan dan anggota, ia biasa disapa dengan “Oom Yo. ” Ia senang dengan gelar yang mengandung keakraban.
Memang sudah merupakan sifat Leimena bahwa, mula-mula berjumpa orang merasakan seolah sudah lama berkenalan dengannya.
Dr. Leimena adalah pemimpin yang tumbuh dari masyarakat dan berurat di dalamnya. Dia juga seorang dokter yang tahu apa artinya diagnose dan therapi.
Dr. Johannes Leimena adalah seorang pemimpin yang memberi contoh sebagai seorang patriot Indonesia terlepas dari perbedaan agama. Ia menghormati pendapat orang lain, di samping kesetiannya kepada pendapatnya sendiri, dan dalam segala keadaan dapat memelihara kejujuran. Itulah cermin pribadi Leimena sebagai Pemimpin dan Patriot.
Jika kita menyebut “Utang Republik pada Islam” tidak menafikan peran kelompok agama-agama lainnya seperti patriotismenya J. Leimena dan lainnya.
Tetapi fakta sejarah tak bisa dipungkiri, para kyai dan tokoh-tokoh Islam memiliki saham yang besar dalam perjuangan kemerdekaan seperti: H.O.S.Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahid Hasyim, Mohammad Natsir, Abdul Kahar Mudzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, Mohammad Roem, dan lain-lain.
Nama mereka tercatat dengan tinta emas dalam lembaran sejarah perjuangan negeri ini.
Penutup
Dalam upaya merawat ingatan bangsa Indonesia, bahwa jangan sekali-kali melupakan jasa para ulama.
Perjuangan mereka adalah fakta sejarah yang tak bisa dipungkiri. Mereka berjuang agar negeri ini menjadi negeri yang dilimpahi kebaikan dan ampunan Tuhan, dengan tegaknya keadilan dan kesejahteraan sosial secara merata.
Itulah makna hakiki tentang kemerdekaan yang sesungguhnya.