Oleh Abdul Aziz, ST
“Aku rindu bermalam di tepian danau…
di Makkah…
Sementara di sisiku ada lambaian rumput izkhir dan jalil”
Ungkapan manusia agung Rasulullah SAW di Madinah kepada Bilal bin Rabah, kala mengenang kampung halamannya Makkah yang telah lama ditinggalkan.
Beliau berucap sambil menangis.
Suaraakademis.com.|Medan-
Tak jauh dari menara Jam Gadang yang gagah di puncak Kota Bukit Tinggi, Tifatul Sembiring tafakur di atas sebongkah batu gunung.
Matanya nanar menatap Gunuang Merapi yang tampak indah di balik kabut pagi.
Pada sisi lain tegak dengan gagahnya Gunuang Singgalang yang mempesona.
Langit cerah pun menambah keindahan panorama mengharu biru hati dan perasaan Menteri Komunikasi dan Informatika 2009 – 2014 yang tengah berlibur ke kampung halamannya ini, laruik dalam palunan waktu, kenangan masa lalu.
Pusaran waktu seperti menyatu kembali dalam kenangan masa kanak-kanak dan remajanya oleh pesona alam Bukiktinggi.
Kota kelahiran dan masa kecil Tifatul memang akan selalu dan menuai rindu hati siapa pun yang pernah bertandang kesana.
Bukiktinggi pernah menjadi ibukota pemerintahan PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika Bung Karno menunjuk Syafruddin Prawiranegara menjadi .pimpinan PDRI yang bermarkas di Bukiktinggi.
Disini, di Kota Jam Gadang ini menjadi saksi Sejarah lahirnya tokoh-tokoh besar nasional dari Sumatera Barat sekaliber Mohammad Natsir, Buya Hamka, Bung Hatta, Buya Mansyur, Buya Duski Shamad, AA. Nafis, penulis novel “Siti Nurbaya” Marah Rusli dan lain-lain.
Juga tokoh wanita Masyumi, yang dikenal sebagai kapalo juru masak Syafruddin Prawiranegara, Hajjah Rianah, nenek kandung Tifatul Sembiring dari garis keturunan ibunya.
” Bukittinggi, Senantiasa Menggamit Hati”
Hampir setiap kali bertandang ke Bukittinggi, baik ketika kunjungan kerja saat masih menjabat Presiden PKS ( Partai Keadilan Sejahtera) tahun 2004 – 2009 maupun setelah menjadi Menteri ataupun saat berlibur akhir pekan, Tifatul selalu meluangkan waktunya untuk menikmati alam Bukiktinggi yang menggamit hatinya.
Di Saat memasuki usia remaja, bila harus memilih antara tetap tinggal di kampung halaman, atau merantau ke Jakarta, pilihannya tentu tinggal di Bukittinggi, tapi parasaian dan takdir menentukan lain, Tifatul anak dari pasangan Muhammad Ruman Sembiring dan Darnis M. Noor ini, terpaksa Hijrah ke Jakarta.
Prahara Itupun Datang
Bermula dari musibah yang datang bagaikan petir di siang bolong, menimpa Muhammad Ruman Sembiring yang bekerja sebagai pegawai Toko Emas Gembira, terletak di Jalan Pasar Raya, Kota Padang.
Siang itu, awal tahun 1976, Ruman Sembiring dicurigai pemilik toko mencuri sejumlah kepingan emas yang hilang.
Karena memang tidak mencuri, Ruman bersikukuh tidak melakukan perbuatan tersebut.
Ruman meyakini, emas yang hilang itu bukan sebab perbuatannya.
Ia mengganggap musibah adalah bagian ujian Allah sebagaimana firmanNya dalam Surat At Taghabun ayat 11:
Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Lima tahun kemudian, Ruman memperoleh kabar dari pemilik toko emas, bahwa pencurinya telah mengaku.
Namun nasi telah menjadi bubur, karena dipecat lima tahun silam, Ruman memutuskan pulang kampung di Buluh Rintang, Desa Jumagerat, Kecamatan Tiga Lingga, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara.
Mengetahui persoalan orang tuanya, Tif merasa sangat terpukul . Pada satu sisi, ia memahami kesulitan ekonomi keluarga.
Pada sisi lain Tif merasa sedih seakan seluruh harapan akan masa depan menjadi pudar.
Saya betul – betul merasa hopeless,” kenang Tifatul dalam biografi Sepanjang Jalan Dakwah.
Pertengahan tahun 1976, sebuah pesawat Merpati berbaling-baling ganda terbang memutar dari arah Barat ke arah Timur tepat di atas bandara Kemayoran Jakarta.
Tifatul yang duduk di sebelah H. Makmur dan isterinya, Hj. Zuleha, tak sabar lagi menantikan pesawat segera mendarat. Inilah petualangan pertamanya merantau ke ibukota Jakarta.
Ia bertekad untuk menuntut ilmu, demi meringankan beban ekonomi orang tuanya yang terpaksa balik ke kampung halaman di Buluh Rintang, saat itu mulailah berlaku Takdir Allah atas dirinya
MENGGANTANG MASA DEPAN.
Perbedaan yang sangat kontras antara kehidupan masyarakat Bukittinggi dan metropolitan Jakarta membuatnya lebih selektif dalam memilih teman pergaulan.
Pesan ibunda Darnis saat melepas anaknya dengan tangisan, agar di Jakarta senantiasa ibadah dan tidak berbuat yang aneh-aneh.
Pesan ibundanya ini selalu dipegang teguh. Ayahnda Ruman, juga mengingatkan agar ia terus meningkatkan kemampuannya membaca Al-Qur’an.
Pesan ayah dan mandehnya dilaksanakan Tif dengan sepenuh hati, meski tanpa ada yang mengawasinya.
Masa remaja di Jakarta sungguh amat berat.
Pada saat ia menuntut ilmu, lingkungan tempat dimana ia tumbuh dewasa sama sekali tidak menopangnya.
Namun demikian ia patut bersyukur tidak terseret dalam lingkungan maksiat. Sebaliknya, justru pada masa remajanya, Tif berupaya keras membangun kepribadian yang Islami.
“Saya kira semua itu karena tiga faktor. Pertama berkat doa orang tua. Kedua, kesibukkan saya belajar di sekolah. Ketiga kecendurangan saya senang mendalami agama,”kenangnya.
“Taman-taman Halaqoh Laksana Suburnya Bukit Hijau”
Setelah empat tahun merantau meninggalkan Bukittinggi, dimana kultur masyarakatnya yang Islami, Tifatul menyadari bahwa belajar Islam dan kesalehan tidak mudah di Jakarta, akibat paham sekuler yang begitu kuat merasuk ditengah-tengah
masyarakat.
Sewaktu ia duduk di bangku kelas dua STM, saat itulah Tif bergabung dengan organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII), Tif mengikuti basic training sebagai syarat untuk menjadi anggota PII, yang kelak menghantarkan beliau menjadi salah satu putra terbaik negeri ini.
Dari sini pulalah beliau mengenal salah satu tokoh KB PII Almarhum Ustdaz Hilmi Aminuddin yang mengembang konsep tarbiyah dan dakwah.
Dari sentuhan-sentuhan tarbiyah dan ditopang oleh terjemahan buku-buku Timur Tengah dan pemikirannTokoh Islam modern antara lain Jamaluddin Al-Afghani, Hasan Al Banna, Abul A’la Maududi serta ulama besar Dr. Yusuf Qardhawi yang membentuk kepribadian Tifatul Sembiring yang paripurna.
Eskalasi politik nasional menjadi hiruk pikuk dengan tumbangnya Presiden Soeharto pada 26 Mei 1998 setelah tidak mampu membendung derasnya arus gerakan reformasi nasional.
Hampir seluruh komponen bangsa yang menjadi kekuatan nasional melakukan konsolidasi untuk mengambil peran.
Mereka membahas situasi politik menghadapi percepatan pemilu akhir tahun 1999, maka terpilihlah Presiden PK Dr. Nurmahmudi Isma’il.
Hasil pemilu 1999 yang hanya menghasilkan perolehan suara PK sebesar 1,4 juta atau sekitar 1,7 persen dan 7 kursi di DPR RI, masih berada dibawah electoral thereshold yang menetapkan minimum 2 persen sesuai UU 3 tahun 1999, dengan ketentuan tersebut PK tidak boleh mengikuti Pemilu 2004.
Tersandung ambang batas 2 persen. Untuk menjaga kelangsungan partai dakwah, disepakati pembentukan PK Sejahtera. Saat itu ditunjuk Al Muzzammil Yusuf sebagai Presiden PKS pertama yang bertugas mempersiapkan verifikasi.
Dalam Musyawarah Majelis Syuro XIII tanggal 17 April 2003, merekomendasikan PK bergabung dengan PKS, usai deklarasi Hidayat Nur Wahid kembali ditetapkan sebagai Presiden PKS menggantikan Muzzammil Yusuf.
Berjuang di Partai Dakwah
Musyawarah Nasional I Partai Keadilan tahun 2000 menetapkan Dr. Hidayat Nur Wahid sebagai Presiden PK, dan Tifatul Sembiring ditunjuk sebagai salah satu ketua DPP dengan tugas menjadi Koordinator Wilda (Wilayah Dakwah) Sumatera.
Selaku koordinator Wilda dalam mengembangkan dakwah di Sumatera Utara Tif terbantu oleh posisi ayahnya Ruman Sembiring.
Artinya dalam masyarakat Batak (Karo) yang Patrilineal, Tifatul bermarga Sembiring.
Dari seluruh kawasan di Sumatera, masyarakat Sumatera Barat sangat akomodatif terhadap gerakan dakwah PK.
Ia tidak pernah menemui hambatan mengembangkan dakwah di kampung halaman ibunya.
Terpilih Menjadi Presiden PKS
Satu-satunya partai politik yang menggunakan istilah Presiden bagi jabatan puncak di Dewan Pengurus Pusat organisasinya adalah PKS.
Hampir seluruh partai politik lainnya sejak Orde Lama, Orde Baru hingga Era Reformasi menggunakan istilah Ketua Umum.
Tifatul punya catatan tersendiri tentang penggunaan kata Presiden sebagai pengganti istilah ketua umum pada partainya.
Sepanjang Orde Baru penyebutan kata “Presiden” itu terasa sangat sakral. Ketika Menteri Penerangan Harmoko mengatakan,
“Sesuai petunjuk Bapak Presiden” , maka dahi orang langsung berkerut.
Tak ada yang berani berbeda pandangan.
Untuk menetralisir kesan sakral terhadap kata “presiden ” secara berlebihan, maka PK memilih istilah Presiden Partai.
Tifatul sendiri tak pernah menyangka dan membayangkan bahwa dirinya akan terpilih menjadi Presiden Partai. Setelah pemilu 2004, ia bersyukur karena tugas dakwah yang dilakukan di kawasan Sumatera mencapai sukses.
Bahkan PKS membukukan prestasi sangat gemilang secara nasional dalam pemilu 2004.
Kenaikan perolehan suara berlipat ganda hingga 650 persen.
Mengawal Kementerian Kominfo
Ketika mendapat amanah sebagai Menkominfo, Tifatul Sembiring segera mengerahkan segenap pikirannya untuk menganalisis pokok-pokok permasalahan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) di Indonesia saat ini dan masa depan.
Berdiskusi dengan berbagai pihak dan para pakar IT, ” Apa sebetulnya inti pokok permasalahan pembangunan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia’.
Itulah yang pertama kali ada dalam pikiran seorang Tifatul ketika menerima amanah sebagai Menkominfo dalam KIB II.
Ia merumuskan visi lima tahun kedepan, 2009-2014, yaitu visi yang tepat mengenai Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia.
Beliau memahami bahwa Indonesia pada tahun 2009 menghadapi permasalahan di bidang TIK. Masih tingginya digital devide artinya, ada kesenjangan antara pusat dan daerah dalam fasilitas dan kemudahan akses masyarakat terhadap informasi.
Inilah yang disebutnya sebagai ‘kesenjangan digital’.
Bertolak dari dasar keprihatinnya ini, membuat Tif melakukan sejumlah gebrakan tatkala dipercaya Presiden SBY menjabat Menkominfo sejak 22 Oktober 2009.
Salah satu yang mengundang reaksi pro dan kontra adalah ketika ia menekan produsen Ponsel pintar Blackberry asal Kanada, Research In Motion (RIM) untuk memblokir situs porno dalam layanannya.
Akhir Desember 2010, Tifatul mengultimatum RIM agar dalam tiga pekan ke depan, perusahaan itu harus sudah menutup konten pornografinya, “Atau kita yang tutup! Kita bukan sedang bernegosiasi, kalau RIM tidak mematuhi peraturan UU RI, enough is enough! ujarnya tegas.
Pada 10 Januari 2011, RIM akhirnya mengeluarkan pernyataan resmi untuk menutup konten pornografinya, membaca surat itu Tifatul pun senang.
Menikah Menyelamatkan Akidah.
Dunia dakwah sudah menjadi suratan takdir Tifatul.
Apalagi setelah duduk di perguruan tinggi. Ia menjadi salah satu motor pergerakan tarbiyah yang dikembangkan Muasis dakwah Ustadz Hilmi Aminuddin waktu itu.
Ir. H. Tifatul Sembiring 62 tahun, suami dari Sri Rahayu (Yayuk) hingga saat ini tetap berdakwah, dakwah parlemen, di periode 2019-2024 beliau masih menjadi Legislator PKS untuk DPR RI dari Sumut 1.
Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu, pikiranmu, perhatianmu, berjalan, duduk dan tidurmu.
Bahkan di tengah lelapmu, mimpimu tentang dakwah.
Tentang umat yang kau cintai.
Ketua Bidang Kerja sama Antarn Lembaga, DPD Persatuan Wartawan Republik Indonesia Sumut.